Review Hostile Takeover (2025) – Ketika Michael Jai White Menantang Usia dan Genre

Review Hostile Takeover (2025) – Film aksikomedi terbaru berjudul Hostile Takeover (2025) membawa kita ke dalam dunia Pete, seorang pembunuh bayaran veteran yang mulai mempertanyakan ritme hidupnya setelah bergabung dengan Workaholics Anonymous. Disutradarai oleh Michael Hamilton-Wright dan ditulis bersama Burton L. Warner, film ini mencoba menggabungkan aksi, komedi, dan sedikit drama personal dalam satu paket yang cukup unik—meski tidak selalu berhasil sepenuhnya.

Sebagai penonton yang menghargai narasi yang seimbang antara hiburan dan kedalaman karakter, saya merasa film ini menawarkan pengalaman yang menarik, meski dengan beberapa catatan penting.

Premis yang Tidak Biasa tapi Menarik

Pete (diperankan oleh Michael Jai White) adalah seorang pembunuh bayaran yang sudah lama berkecimpung dalam dunia kriminal. Namun, keputusannya untuk menghadiri pertemuan Workaholics Anonymous—sebuah kelompok dukungan bagi para pekerja yang kecanduan kerja—menimbulkan kecurigaan dari bos sindikat kejahatan tempat ia bekerja, Matteo Arcado (John Littlefield). Arcado mengira Pete telah menjadi informan, dan sebagai akibatnya, ia mengirim sekelompok pembunuh untuk menghabisinya.

Premis ini sebenarnya cukup segar. Menggabungkan elemen introspektif tentang keseimbangan hidup dengan dunia pembunuh bayaran yang biasanya penuh kekerasan dan maskulinitas ekstrem adalah langkah berani. Namun, film ini tidak sepenuhnya mengeksplorasi potensi dramatis dari konflik tersebut. Sebagian besar narasi justru berfokus pada pertemuan Pete dengan para pembunuh lain yang ingin menagih hadiah atas kepalanya.

Michael Jai White: Masih Tangguh, Tapi Waktu Tak Bisa Dibohongi

Sebagai penggemar Michael Jai White sejak era Black Dynamite, saya selalu mengagumi kemampuan fisiknya dan karismanya di layar. Di Hostile Takeover, White masih menunjukkan teknik bela diri yang solid dan kehadiran yang kuat. Namun, ada momen-momen di mana usia mulai terasa. Di usianya yang ke-57, gerakannya tidak secepat dulu, dan koreografi pertarungan tampak disesuaikan agar ia tetap bisa tampil maksimal tanpa membahayakan diri.

Saya menghargai keputusan film ini untuk tetap menampilkan White melakukan aksi sendiri, dibandingkan menyembunyikannya lewat editing berlebihan seperti yang sering kita lihat pada aktor lain seusianya. Ini memberikan nuansa kejujuran dan penghormatan terhadap dedikasi sang aktor.

Gaya Visual dan Humor yang Setengah-Setengah

Film ini menggunakan pendekatan visual yang cukup unik, dengan narasi yang sadar diri dan interstitial bergaya video game untuk memperkenalkan karakter. Ini mengingatkan saya pada film seperti Scott Pilgrim vs. The World, meski tidak seenerjik atau sepadat itu. Humor dalam film ini juga terasa ringan dan kadang menggelitik, seperti ketika Pete secara tidak sengaja meniru aksen orang lain atau terus-menerus absen dari acara sosial para pembunuh.

Namun, sayangnya, Hostile Takeover tidak sepenuhnya berkomitmen pada genre komedi. Ada momen-momen lucu, tapi tidak cukup untuk membuatnya menjadi komedi penuh. Ini membuat penonton kadang terjebak antara menunggu aksi atau menanti punchline yang tidak datang.

Karakter Pembunuh yang Terlalu Stereotipikal

Salah satu kelemahan utama film ini adalah karakterisasi para pembunuh yang mengejar Pete. Mereka diperkenalkan satu per satu, masing-masing dengan ciri khas yang dangkal. Misalnya, Reaper (Aleks Paunovic) adalah orang Rusia yang suka dodgeball—dan itu saja. Lalu ada Mingjue (Alex Mallari Jr.), Thanatos (Damon Runyan), dan Gabriel (Kyle Bailey), yang semuanya terasa seperti karikatur tanpa kedalaman.

Setiap pertemuan Pete dengan mereka mengikuti pola yang sama: dialog singkat, sedikit humor, lalu pertarungan. Ini membuat struktur film terasa repetitif dan kurang bervariasi. Saya berharap ada lebih banyak eksplorasi terhadap latar belakang atau motivasi mereka, agar konflik terasa lebih personal dan bermakna.

Romansa yang Kurang Tersampaikan

Di tengah kekacauan dan aksi, ada benih romansa antara Pete dan Mora (Aimee Stolte), putri dari bosnya sendiri. Pete ingin memperbaiki keseimbangan hidupnya agar bisa menjalin hubungan yang sehat dengan Mora. Sayangnya, subplot ini terasa setengah hati. Interaksi mereka minim, dan perkembangan hubungan tidak cukup kuat untuk menjadi pendorong emosional cerita.

Sebagai penonton, saya ingin melihat lebih banyak dinamika antara Pete dan Mora—bagaimana mereka saling memahami, bagaimana Mora memandang dunia ayahnya, dan bagaimana Pete berusaha keluar dari bayang-bayang masa lalunya. Sayang sekali, film ini hanya menyentuh permukaan.

Tema yang Menarik Tapi Kurang Digali

Salah satu aspek yang saya anggap paling menarik adalah tema tentang keseimbangan hidup dan identitas. Pete adalah simbol dari seseorang yang telah lama tenggelam dalam pekerjaannya, hingga lupa bagaimana menjadi manusia biasa. Keputusannya untuk menghadiri Workaholics Anonymous adalah langkah kecil tapi signifikan menuju pemulihan.

Namun, film ini tidak cukup dalam menggali tema tersebut. Saya membayangkan versi yang lebih reflektif, di mana Pete benar-benar berjuang dengan trauma, rasa bersalah, dan keinginan untuk berubah. Alih-alih, kita lebih banyak disuguhi aksi dan humor ringan.

Aksi yang Terasa Lambat Tapi Tetap Menghibur

Pertarungan dalam film ini memang tidak secepat atau seintens film aksi modern, tapi tetap menyenangkan untuk ditonton. Koreografi yang lambat memberi ruang bagi White untuk tampil maksimal, dan ada beberapa momen gore praktikal yang cukup menghibur. Saya menghargai bahwa film ini tidak mencoba menutupi kelemahan dengan editing cepat atau kamera goyang.

Namun, bagi penonton yang mengharapkan aksi cepat dan brutal, mungkin akan merasa kurang puas. Film ini lebih cocok untuk mereka yang menikmati aksi dengan sentuhan karakter dan humor.

Klimaks yang Terlambat dan Antagonis yang Terlupakan

Angel Gratis (Dawn Olivieri) muncul sebagai antagonis utama, tapi hanya di lima menit terakhir. Ini membuat konflik utama terasa kurang menggigit. Saya berharap Angel muncul lebih awal dan memberikan tantangan yang lebih kompleks bagi Pete, baik secara fisik maupun emosional.

Kesimpulan Pribadi

Sebagai seseorang yang menghargai film dengan karakter kuat dan tema yang bermakna, Hostile Takeover adalah pengalaman yang campur aduk. Di satu sisi, saya menikmati kehadiran Michael Jai White dan premis yang unik. Di sisi lain, saya merasa film ini tidak cukup berani untuk benar-benar menggali potensi yang dimilikinya.

Film ini bukanlah karya terbaik White, tapi tetap layak ditonton bagi penggemar genre aksi-komedi yang ringan. Jika kamu mencari tontonan yang menghibur tanpa terlalu banyak tuntutan emosional atau naratif, Hostile Takeover bisa jadi pilihan. Tapi jika kamu berharap eksplorasi karakter yang mendalam dan konflik yang kompleks, mungkin film ini akan terasa kurang memuaskan.

Topik terkait: #Action, #Comedy, #film aksi komedi, #Hostile Takeover 2025, #Michael Jai White, #pembunuh bayaran, #Thriller, #ulasan film

Outlander: Blood of My Blood (2025)Review Film: A Normal Woman (2025)

Rekomendasi bacaan lainnya:

Tinggalkan komentar

Share this: