KDrama
Sinopsis Drama Korea My Only One Episode 101-102 Part 3
“Myeong Hee, kemarilah. Ini ada semur pauhi kesukaanmu.” kata Nyonya Park sambil berusaha membukanya. Kelihatannya ia kesulitan membuka, “Kenapa tidak mau terbuka?”
“Biar aku saja.” kata Do Ran menghampiri.
“Tidak, biar aku coba.” nyonya Park ngeyel. Akhirnya karena licin, semuanya malah tumpah dan mengotori kardigan yang dipakai Nyonya Park.
“Astaga. Astaga, semuanya tumpah. Astaga, bau.”
“Tidak apa-apa, Geum Byung. Akan kubersihkan. Lepas kardiganmu.” kata Do Ran sambil memunguti.
“Haruskah?”
“Angkat kakimu.”
“Astaga, baunya. Bagaimana ini?”
“Sudah.” kata Do Ran sambil berdiri. Tiba-tiba dia terhuyung.
“Astaga. Myeong Hee, ada apa? Kamu sakit? Kamu merasa pusing?”
“Aku tidak apa-apa. Aku hanya merasa pusing tadi. Kini aku baik-baik saja.”
“Lepas kardigan Kakak. Akan kubersihkan itu di toilet.”
“Tidak apa-apa. Aku ikut denganmu, Myeong Hee. Ayo ke sana bersama.”
“Baiklah.”
Mereka beranjak akan keluar dari kamar itu. Tiba-tiba terdengar suara.
“Apa? Kurasa tadi suaranya Soo Il.” kata Nyonya Park.
Mereka menatap Pak Kang yang terbaring. Mulutnya kelihatan bergerak,
“Do… Do Ran.”
“Ayah. Ayah barusan memanggil namaku? Ayah bisa melihatku?” tanya Do Ran.
“Do Ran…” suara Pak Kang terdengar lagi.
“Ayah, bisa lihat aku? Ayah sungguh bisa melihatku?”
Pak Kang membuka mata, “Ya…”
Nyonya Park juga yang di dekat Do Ran, “Soo Il… Myeong Hee, kenapa kamu terus memanggilnya “Ayah”?”
Do Ran seperti tidak mendengar ini. Ia masih tak percaya apa yang dilihatnya, “Ayah. Akan kupanggilkan dokter, ya?” kata Do Ran berlari ke luar. Nyonya Park mengejarnya tentu.
Do Ran menuju ruang jaga perawat, “Perawat, ayahku sudah siuman. Dia barusan memanggil namaku. Segera periksa dia. Cepatlah!”
“Baik. Akan kupanggilkan dokter. Tolong tunggu di kamar.” kata mbak perawat.
“Terima kasih banyak. Terima kasih.” Do Ran berlari tergopoh-gopoh menuju kamar. Nyonya Park mengintil di belakangnya.
“Beri tahu aku namamu. Siapa namamu?” tanya pak dokter.
“Aku Kang Soo Il.”
“Kamu tahu siapa dia?” tanya dokter lagi.
“Dia putriku. Kim Do Ran.”
Nyonya Park memandang Do Ran, “Apa maksudnya? Namamu Myeong Hee.”
“Pak Kang Soo Il baik-baik saja.”
“Sungguh? Lantas, bisakah dia menjalani kehidupan normal?” tanya Do Ran.
“Ya. Kamu tidak perlu khawatir. Operasinya berjalan lancar. Karena kini dia sudah siuman, semua akan baik-baik saja. Kami akan mengamati kondisinya selama beberapa hari lagi untuk berjaga-jaga sebelum dia keluar.”
Do Ran terlihat gembira sekali, “Terima kasih. Terima kasih banyak.”
“Terima kasih. Terima kasih, Dokter.”
“Ayah. Ayah baik-baik saja?” tanya Do Ran menangis bahagia.
“Do Ran.”
Melihat ini Nyonya Park melongo, “Astaga… Soo Il, dia Myeong Hee. Sedang apa kalian? Myeong Hee, kenapa kamu terus memanggilnya “Ayah”? Soo Il juga memanggilmu dengan nama asing. Kamu sudah gila atau apa? Astaga.”
Pak Kang hanya memandang Nyonya Park.
***
Di rumah Dae Ryook, ayahnya sedang menghadapi semua anggota keluarga.
“Apa? Ibu bersama Pak Kang di rumah sakit?”
“Ya.” jawab mak Lampir
“Bisa-bisanya kamu mengirimnya ke sana? Do Ran sedang merawat ayahnya.”
“Lantas, aku harus bagaimana? Tidak ada yang bisa kulakukan saat Ibu mencarinya. Kalau tidak, Dokter Kim akan memberinya sedatif.” jawab mak Lampir.
“Hubungi Do Ran dan tanya bagaimana kabar Ibu sekarang. Kita harus membawanya kembali.”
“Aku tidak bisa menghubunginya. Kalau mau, telepon saja sendiri.” kata mak Lampir lagi.
“Apa? Astaga…” kata Pak Wang. Ia segera mengambil ponselnya. Belum lagi ia mengetik angka, ponselnya berdering. Dilihatnya, Do Ran yang menelepon.
“Ini aku. Kudengar Ibu di sana.”
Bukan suara Do Ran yang menjawab, melainkan pak Kang, “Ini aku, Pak. Kang Soo Il.”
Pak Wang terkejut, “Apa? Astaga. Pak Kang. Kapan kamu siuman?”
“Belum lama ini.”
“Pak Kang sudah siuman?” tanya mak Lampir.
Pak Wang melanjutkan, “Aku sangat lega mendengarnya. Semua orang khawatir.”
“Pimpinan. Tolong segera kemari dan bawa Nyonya Park pulang.” suara pak Kang terdengar dingin dan sinis. Tidak seperti biasanya.
“Apa? Itu… Apa Ibu baik-baik saja? Jika dia baik-baik saja, aku hendak mengirim Pak Choi untuk menjemputnya.”
“Anda dan istri Anda harus datang dan menjemputnya. Ada yang ingin kukatakan kepada kalian. Aku juga sedang tidak sehat. Aku ingin Anda datang dengan Bu Oh.” kata Pak Kang.
“Baiklah. Aku segera ke sana.”
“Tunggu. Kenapa ekspresimu begitu? Pak Kang bilang apa?” tanya mak Lampir.
“Kamu harus bersiap-siap. Mari kita jemput Ibu.”
Mak Lampir kaget, “Aku? Aku tidak perlu ke sana. Kamu bisa pergi sendiri.”
“Ayahnya Do Ran memintaku datang denganmu.”
“Aku? Dia mau aku datang?” tanya si Mak.
***
Nyonya Park dan Do Ran sedang berada di mini market.
“Myeong Hee. Mari beli susu pisang ini. Ini kesukaannya Soo Il.”
“Baiklah.”
“Mari beli satu lagi. Ini untukmu.”
***
Di dalam kamarnya, Pak Kang duduk terpekur. Ia ternyata bisa mendengar saat emak-emak di luar membicarakannya dan Do Ran.
“Buah tidak jatuh jauh dari pohonnya. Kamu melihat matanya? Apa dia sungguh pembunuh?”
Ia juga mendengar semua ucapan mak Lampir.
“Aku bilang tidak akan merestuimu walaupun kamu melangkahi mayatku. Kamu putri seorang pembunuh. Jika punya hati nurani sedikit saja, kamu tidak akan melakukan ini.”
Tiba-tiba pintu kamar diketuk. Masuklah pak Wang dan mak Lampir.
“Astaga, tetap berbaringlah. Syukurlah kamu siuman tanpa masalah apa pun.”
“Terima kasih.” kata pak Kang tanpa menatap mereka.
“Kamu akan merasa tidak nyaman. Bersandarlah. Omong-omong, di mana Ibu?” tanya pak Wang.
Pintu kamar terbuka, masuklah Nyonya Park dan Do Ran.
“Astaga. Ayah sudah datang. Soo Il baru saja siuman.” kata Nyonya Park.
“Ya. Ayah tahu. Omong-omong, apa yang mau kamu katakan?” tanya Pak Wang.
“Tolong bawa Nyonya Park dan segera pergi dari sini. Mulai sekarang, setiap kali demensia Nyonya Park kambuh, kuharap kalian tidak meminta bantuan Do Ran.”
Do Ran kaget, “Ayah…”
“Bagaimana bisa kalian melakukan ini kepadanya? Sampai sekarang, aku diam saja. Tapi aku mendengar semuanya selagi berbaring.”
Giliran si Mak yang kaget.
“Kalian benar. Aku kriminalis. Aku kriminalis yang tidak bisa dimaafkan. Jika tidak bisa membayar dosaku dalam kehidupan ini, aku akan membayarnya setelah mati sekalipun. Walaupun jatuh ke api neraka, aku tidak berhak bilang apa pun. Tapi hanya karena aku kriminalis, bukan berarti Do Ran juga. Kalian boleh memperlakukanku dengan tidak benar, tapi tidak ada yang berhak lancang ke putriku, Do Ran.” sampai di sini suara pak Kang meninggi.
“Do Ran menikahi Direktur Wang karena mereka saling mencintai. Dia berusaha yang terbaik untuk menyesuaikan diri. Dia mencurahkan segenap hatinya untuk mengurus Nyonya Park. Dia orang baik. Tapi…” pak Kang berhenti dan agak terisak.
“Tapi… Bagaimana bisa kamu menamparnya? Bagaimana bisa kamu selancang itu?” mak jadi kaget sekali.
“Tapi tetap saja kalian membuat Do Ran mengurus Nyonya Park. Kalian tidak punya hati nurani?” pak Kang menangis.
“Apa… Dia menamparnya?” tanya pak Wang.
Do Ran menyela, “Ayah. Cukup… ” ia menangis.
Pak Kang melanjutkan, “Bu Oh. Kamu bilang kepada putriku bahwa kamu tidak akan pernah merestuinya karena dia putri pembunuh. Dia sudah bercerai, jadi, dia bukan keluargamu lagi. Jangan membuat putri pembunuh mengurus ibu mertuamu yang berharga. Bawa dia ke sanatorium atau lakukan apa pun yang kamu mau. Jangan memanggil putriku lagi.” suara pak Kang meninggi lagi.
“Ayah… ” Do Ran memandang ayahnya sambil menangis.
Pak Kang memandang Do Ran juga, “Do Ran. Jika kamu menemui Direktur Wang atau mengurus Nyonya Park lagi, ayah akan memutus hubungan denganmu. Kamu paham? Pimpinan Wang, Bu Oh. Cegah Direktur Wang menemui Do Ran. Hanya itu yang ingin kukatakan. Tolong pergi dengan Nyonya Park. Serta jangan menghubungi putriku lagi. Tolong pergi.”
“Kamu menakutiku, Soo Il.” kata Nyonya Park yang menempel pada Do Ran.
Pak Wang berkata, “Aku paham maksudmu. Aku tidak tahu apa ucapan istriku ke Do Ran, tapi aku minta maaf. Maaf. Ayo pergi, Bu.” ajaknya pada Nyonya Park.
“Kamu tunggu apa lagi? Keluarlah lebih dahulu.” katanya kepada si Mak.
“Tidak mau.” kata nyonya Park.
Tiba-tiba pak Kang berteriak keras dan mengagetkan semua orang.
“Cepat keluaaaar!!!”
“Astaga, Soo Il. Kakak takut, Myeong Hee. Soo ll, jangan menakutiku.”
“Ayah.”
“Maaf. Aku sungguh minta maaf. Ayo pergi, Bu.” kata pak Wang.
“Aku tidak mau pergi. Aku mau tinggal dengan Myeong Hee.”
Pak Wang memaksa Nyonya Park untuk pergi. Nyonya Park berteriak-teriak tidak mau, namun pak Wang tetap memaksa, setengah menyeretnya. Si Mak ikut keluar. Ia berhenti sejenak seperti ingin mengatakan sesuatu, namun tidak ada yang keluar dari mulutnya. Hanya, matanya menunjukkan permintaan maaf dan penyesalan.
Do Ran beranjak mengikuti keluar.
“Berhenti, Do Ran. Jangan pergi.”
Do Ran urung pergi. Ia berjalan mendekati ayahnya.
“Ayah…” Do Ran menangis sedih.
“Do Ran. Kamu tidak pantas mendapat ayah seperti ini. Biarkan ayah pergi. Tanpa bisa melakukan apa pun kepadamu, ayah hanya merugikanmu. Maaf. Ayah seharusnya tidak berada di sisimu.” Pak Kang menangis. Do Ran juga menangis makin terisak.
“Do Ran. Biarkan ayah meninggalkanmu. Ayah tidak mau melihatmu kemalangan lagi. Jadi, ayah mohon, Do Ran. Biarkan ayah pergi.” Pak Kang menangis mengguguk.
Do Ran mendekati ayahnya sambil menangis, kemudian memeluknya. Mereka bertangisan.