Kita lanjut dengan Recap Hunter with a Scalpel Episode 7. Kalau kamu belum membaca recap sebelumnya, silahkan bisa kamu baca di sini.
Episode ketujuh Hunter With a Scalpel membuka bab yang sangat pribadi sekaligus menyeramkan dalam hidup Se-eun. Kali ini, bukan hanya sidik jari yang mengarah pada pelaku—tetapi jejak luka masa kecil, foto yang dikubur dalam mulut korban, dan rencana untuk “menciptakan pelaku” lewat manipulasi DNA. Di balik benang putih dan pancuronium, tersimpan kisah yang lebih beracun: cinta seorang ayah yang menyamar sebagai kendali.
Buku Merah, Laut Merah
Kisah dimulai dengan potongan masa kecil Yoon Se-eun bersama ayah angkatnya. Ia diberi sebuah buku gambar, dan diminta mencatat makanan atau benda yang ia inginkan. Tapi ia juga harus menulis “diari bergambar.” Halaman pertama menunjukkan latar serba merah.
“Itu laut,” kata Se-eun kecil.
Sang kakak tampak terganggu: siapa yang mewarnai laut dengan merah? Tapi kita tahu—laut dalam kisah ini bukan tempat wisata, melainkan tempat darah dilarutkan, tempat mayat dibuang, tempat rasa bersalah dilarung jauh-jauh. Sebuah gambar masa kecil yang terasa seperti ramalan kelam.
Montase Wajah & Ketegangan Internal
Sementara itu, tim investigasi menerima hasil montase 3D dari foto anak kecil yang ditemukan di tubuh korban sebelumnya. Beberapa anggota tim mulai mencurigai bahwa foto itu menyerupai Dokter Seo. Hidungnya memang berbeda, tapi struktur mata dan latar belakang menunjukkan kemiripan yang tak terbantahkan.
“Jangan-jangan dia adalah… anak hilang itu?”
Tim menyebarkan montase ke seluruh wilayah Yongcheon, berharap ada warga yang mengenali wajah itu.
Laundry dan Kain yang Terjahit Rapi
Investigasi membawa mereka ke laundry milik Min-guk, tempat dua korban sebelumnya pernah menggunakan jasa dry clean. Tempat itu dipenuhi benda-benda yang familiar di TKP: kuas, benang, cairan pembersih, plastik, bahkan ruang kerja tersembunyi.
Dalam kilas balik masa kecilnya, Se-eun diajari menjahit oleh ayahnya. Ia berkata:
“Gabungkan kainnya, lalu jahit pelan-pelan. Akhiri dengan simpul pita. Jadi terlihat utuh, kan?”
Kata-kata ini bukan lagi tentang kerajinan tangan, tapi tentang bagaimana pelaku menyembunyikan luka, menyatukan potongan tubuh korban seolah tak pernah tercerai. Jahitan bukan untuk memperbaiki, tapi untuk memalsukan kenyataan.
Ayah yang Selalu Mengintai
Di tengah penyelidikan, Se-eun kembali dihubungi oleh ayah angkatnya. Nada suaranya tetap tenang—terlalu tenang. Ia menyindir Se-eun dengan berkata:
“Montase wajahmu sudah tersebar ke seluruh kota. Kau suka?”
Ia menyebutnya sebagai hadiah. Ternyata sang ayah lah yang menyebarkan rekaman wajah masa lalu Se-eun, seolah ingin mengatakan: “Kau bisa sembunyi, tapi masa lalumu tetap mengikutimu.”
Lebih mengerikan lagi, sang ayah mengusulkan “mengarang pelaku.” Ia menawarkan untuk menciptakan bukti palsu dengan menanam DNA orang tak bersalah ke tubuh korban dan membuangnya, agar Se-eun sendiri yang melakukan otopsi dan “mengonfirmasi” pelaku.
“Kita bisa selesaikan ini… seperti tak pernah terjadi. Lalu mulai yang baru.”
Manipulasi ini membuat darah terasa beku. Ini bukan sekadar upaya menutup kasus, tapi membentuk kenyataan baru demi membenarkan luka lama.
Rencana Mengarang Bukti & Misteri Nam Seung-hyup
Sang ayah bahkan menyarankan menanam DNA dari rumah seseorang yang sedang dicurigai polisi, lalu memasukkannya ke potongan tubuh baru yang akan dia siapkan. Ia berkata dengan penuh ironi:
“Lebih seru lagi karena yang otopsi… adalah putriku sendiri.”
Dalam arsipnya, Se-eun juga membuka kembali berkas lama: kasus Nam Seung-hyup, atlet yang kematiannya penuh tanda tanya. Laporan toksikologi bertuliskan “Not Detected”—frasa yang terus menghantui semua laporan forensik mereka selama ini. Ada terlalu banyak bukti, tapi tak satu pun bisa dideteksi.
Penutup: Bukti, Luka, dan Apa yang Sebenarnya Ingin Diperbaiki?
Episode ditutup dengan visual ganda: penyelidik yang akhirnya diberi izin untuk menyelidiki kasus Blue Barrel 1999 secara paralel, dan Se-eun yang bersiap menuju tempat tinggal ayahnya—membawa laporan, luka lama, dan niat yang belum kita ketahui: melawan, membongkar, atau… menyerah.
Di balik semua tragedi ini, pertanyaannya bukan lagi hanya “siapa pelakunya”, tapi juga:
“Apakah kebenaran harus dibangun… atau diciptakan?”