Que sera-sera whatever will be will be, Berdamai dengan kekhawatiran

Kali ini, kami akan bagikan sebuah kisah inspiratif tentang kehidupan. Sebuah kisah tentang bagaimana kekhawatiran itu akan membelenggu hidup kita, dan membuat kita mandeg bahkan terpuruk. Bagaimana sih berdamai dengan kekhawatiran itu ?

Suatu ketika seekor anak monyet bersiap-siap hendak melakukan perjalanan jauh. Ia merasa sudah bosan dengan hutan tempat hidupnya sekarang. Ia mendengar bahwa di bagian lain di dunia ini ada tempat yang disebut sebagai ‘belantara’ di mana ia berpikir akan mendapatkan tempat yang lebih ‘baik’,.

“Aku akan mencari kehidupan yang lebih baik,” katanya.

Orang tua si monyet , meskipun bersedih bersedia melepaskan kepergiannya. “Biarlah ia belajar untuk kehidupannya sendiri, “ kata sang ayah kepada sang ibu dengan bijak.

Maka pergilah si anak monyet itu mencari belantara yang ia gambarkan sebagai tempat hidup kaum monyet yang lebih baik, sementara kedua orangtuanya tetap tinggal di tempat tersebut, di dalam hutan itu.

Waktu terus berlalu, sampai suatu ketika si anak monyet secara mengejutkan kembali kepada orangtuanya. Tentu kedatangan anak semata wayang itu disambut gembira oleh orangtuanya. Sambil berpelukan, si anak monyet berkata, “Ayah, ibu, aku tidak menemukan belantara seperti yang diangan-angankan. Semua binatang yang aku temui selalu keheranan setiap aku menceritakan bahwa aku akan pergi ke sebuah tempat yang lebih baik bagi semua binatang yang bernama belantara. Malah mereka menertawakanku,” katanya dengan sedih.

Sang ayah dan ibu hanya tersenyum mendengar cerita sui anak monyet itu. Anak monyet itu kemudian melanjutkan ceritanya, “Sampai aku kemudian bertemu dengan Gajah yang bijaksana,” lanjutnya, “Gajah itu mengatakan bahwa sebenarnya apa yang aku cari dan disebut sebagai belantara itu adalah hutan yang kita tinggali ini! Gajah itu menegaskan kalau aku sudah mendapatkan dan tinggal di belantara itu!”

Kedua orang tuanya pun dengan tersenyum penuh kasih mengatakan, “Benar, anakku. Kadang-kadang kita memang berpikir tentang hal-hal yang jauh, padahal apa yang yang dimaksud itu sebenarnya sudah ada di depan mata.”

berdamai dengan kekhawatiran

Berdamai dengan kekhawatiran

Ya, banyak di antara kita yang berpikir seperti cara pikir anak monyet itu. Hal-hal sederhana, hal-hal yang ada di sekitar kita, tidak kita perhatikan. Justru kita melihat hal yang jauh-jauh yang pada dasarnya sudah ada di depan mata kita. Kita gelisah dengan karier, dengan pekerjaaan kita, kita gelisah dengan sekolah anak-anak kita, kita gelisah dengan segala rencana kehidupan kita. Padahal, pekerjaan kita sekarang ini adalah bagian dari karier kita. Mereka yang masih bersekolah sekarang adalah bagian dari proses pendidikan mereka dan hidup yang dijalani adalah bagian dari rangkaian kehidupan kita di masa mendatang. Tanpa mengecilkan arti dari masa depan dan sesuatu yang lebih baik, ada baiknya kita fokus dengan apa yang ada di depan mata, apa yang kita kerjakan sekarang, karena hal ini akan berpengaruh terhadap masa depan kita.

Saya dan juga Anda sering susah diyakinkan bahwa kehidupan ke depan itu pasti bisa kita lalui. Bahkan mungkin yang kita pikirkan adalah hal-hal yang terlalu lebay. Belum dijalani sudah dikhawatirkan. Seperti misalnya, sekarang anak saya duduk di kelas 2 SMA. Ia sudah punya gambaran, kemana ia akan meneruskan kuliah nanti. Dengan senang ia menuliskan tujuannya itu. Kebetulan universitas yang diincarnya itu adalah universitas yang jauh dari kota kami ini. Waduh, saya sudah membayangkan yang tidak-tidak. Bagaimana anak perempuan semata wayang saya itu bisa menghadapi kerasnya kehidupan kota besar sendirian jauh dari saya, mamanya ? Bagaimana dengan biaya kuliah dan biaya hidup dan sebagainya yang harus saya persiapkan untuk dia ?

Kemudian, saya sempat mendiskusikan hal-hal tentang kehawatiran saya itu kepada anak saya, dan tahukah apa jawabannya? “Mama nggak usah khawatir, selalu ada jalan kok. Mama ingat nggak waktu kita balik dari Jakarta ke Magelang, Mama takut juga kan apakah bisa hidup dan bekerja di kota ini ? Nyatanya kita bisa kan, Ma ? Ma, kan ada Tuhan… Aku nggak pernah khawatir kok.”

Duh…saya seperti ditampar keras mendengar kalimat yang diucapkan anak saya itu. Ya, untuk apa saya khawatir jika ada Tuhan yang selalu menyertai langkah kita ?

Benar juga, khawatir memang sah-sah saja, namun tidak perlu berlebihan. Boleh-boleh saja mengkhawatirkan,

  • “Bagaimana menghadapi suami yang pulang ke rumah dalam keadaan kalut dan marah ?
  • “Bila putri saya masuk ke perguruan tinggi negeri, akan berhasilkah ia?”
  • “Jika kita memutuskan untuk membeli rumah ini, mampukah kita melunasi pembayarannya?”
  • “Akankah kita bertahan hidup bila suatu saat terjadi gempa bumi?”
  • dll

Tapi, itu kan belum terjadi, memang harus dihadapi, tapi tidak perlu dengan rasa khawatir yang berlebihan bukan ? Orang-orang yang diliputi kekhawatiran, hidup di alam masa depan. Mereka terlalu banyak menghabiskan waktu untuk memikirkan apa yang mungkin terjadi dan mengkhawatirkan hal terburuk yang mungkin terjadi. Orang-orang yang diliputi kekhawatiran hanyut dalam kekhawatirannya dan merasa kalut. Dalam segala sesuatu yang mereka lakukan, tetap ada satu hal yang bersarang dalam pikiran mereka, yakni kekhawatiran. Siapa saja yang diliputi kekhawatiran ? Semua orang ! Tak seorang pun hidup tanpa rasa khawatir. Orang yang menyatakan bahwa ia tak peduli dengan dunia ini adalah orang yang menyangkal keadaan. Setiap orang yang bertanggung jawab secara serius tidak akan menyangkali kekhawatiran yang melingkupinya. Inilah titik pangkal untuk menyelesaikan masalah.

Beberapa pemimpin besar dunia juga adalah orang-orang yang sering merasa khawatir seperti Alexander Agung, George Washington, Winston Churchill dan sebagainya. Orang-orang yang penuh kekhawatiran selalu berpikir ’bagaimana jika’. Yang menarik, banyak orang yang berprestasi sering merasa khawatir. Mereka dikuasai kekhawatiran tentang apa yang akan terjadi.

Lalu, apa yang kita khawatirkan ? Kadang kala dikatakan bahwa kekhawatiran adalah membawa masa yang akan datang ke masa kini. Kekhawatiran adalah hanyutnya pikiran karena membayangkan akibat menyakitkan yang mungkin terjadi.

Timbulnya Kekhawatiran

Biasanya kekhawatiran timbul karena salah satu dari ketiga kategori alasan berikut ini :

1. Ancaman-ancaman.

Kita tak perlu tinggal di kota besar seperti Jakarta, misalnya, untuk menyadari adanya ancaman kejahatan. Bila kita tinggal di daerah yang rawan kejahatan dan baru dapat pulang kerja setelah hari gelap, kita dapat merasa khawatir akan dirampok. Kita merasa sangat lega setelah tiba di rumah dengan selamat dan mengunci pintu. Salah satu alasan mengapa orang merasa khawatir adalah karena mereka merasa terancam secara fisik. Kejahatan itu ada jika ada kesempatan. Ada pula yang merasa terancam oleh apa yang dipikirkan orang lain tentang mereka. Seperti misalnya seorang single parent, selalu khawatir akan apa yang dipikirkan tetangga tentang dirinya ketika mengetahui statusnya. Mencibirkah mereka ?Menghargaikah mereka ? Orang-orang semacam ini menghindari risiko karena mereka tidak mau dicela. Yang lainnya lagi merasa khawatir karena terancam ditinggalkan

2. Pilihan-pilihan.

Banyak orang merasa khawatir ketika harus mengambil keputusan. Mereka akan berbuat apa saja agar tidak membuat keputusan yang salah.

3. Pengalaman-pengalaman di masa lampau.

Seorang pemuda selalu bermasalah dengan figur pria yang berkuasa. Hal itu dilatarbelakangi oleh hubungannya dengan sang ayah atau pengalaman buruk yang dialaminya dengan gurunya. Ia merasa khawatir setiap kali harus mendiskusikan sesuatu dengan atasannya. Ia tak tahan membayangkan bahwa ia akan dihina lagi.

William Backus, dalam bukunya yang berjudul The Good News About Worry (Kabar Baik Tentang Kekhawatiran), menulis tentang kakak iparnya, seorang atlet yang sedang dirawat di rumah sakit karena harus menjalani angio-plasty (bedah plastik pada pembuluh darah). Proses pengobatan berjalan sukses, tetapi ia tetap dalam masa krisis hingga 24 jam mendatang. Karena itu ia merasa khawatir ! Sambil berbaring, ia berkata, “Saya seorang atlet, saya selalu memaksa tubuh saya melakukan apa pun yang saya inginkan dan tubuh saya pun melakukannya. Namun, tatkala saya memerintahkan diri saya untuk menghentikan kegelisahan yang menekan diri ini, saya tak mampu.” Semakin sering ia memerintahkan dirinya untuk tidak gelisah, perasaan itu justru semakin menjadi-jadi. Tiba-tiba ia merasa seolah-olah Tuhan berbicara kepadanya,

“Siapakah yang berkuasa di sini ?”

“Engkau,” jawabnya dengan rendah hati. Dan ketika kebenaran dan komitmen itu masuk ke dalam benaknya, hatinya pun dipenuhi dengan kedamaian.

Que sera-sera – whatever will be, will be. Apapun yang akan terjadi, ya terjadilah. Namun sebelum semuanya terjadi, biarkan kita untuk melakukan apapun yang bisa kita lakukan untuk merengkuh seluruh alunan lagu kehidupan dengan semerdu-merdunya. Apapun yang akan terjadi, ya terjadilah. Namun, sebelum semuanya itu terjadi, lakukan yang terbaik saat ini.

Sungguh, tidak seorang pun yang memiliki masa depan. Karena belum tentu umur kita sampai ke sana. Tetapi, setiap orang memiliki ‘saat ini’. Maka pada saat inilah kita berpijak. Dan kita boleh menggunakan ‘saat ini’ yang sudah jadi milik kita untuk melakukan apapun sebaik yang kita bisa. Dan setelah saat ini berlalu, maka apapun yang akan terjadi, ya terjadilah. Karena setelah semua usaha terbaik kita lakukan saat ini, maka tidak ada sedikitpun kekhawatiran akan masa depan. Kita lakukan segala sesuatu dengan benar, sepenuh hati, dan bersungguh-sungguh. Setelah itu, hasilnya kita serahkan kepada Sang Pemilik masa depan. Biarkan Dia yang menilai, masa depan seperti apa yang pantas diberikan-Nya kepada kita berdasarkan semua yang sudah kita upayakan.

Que sera, sera… Tinggalkan kekhawatiran kita itu. Serahkan semua beban pergumulan dalam kehidupan ini kepada-Nya. Karena DIA tahu siapa diri kita.

Share on: