Hunter with a Scalpel episode 3

Recap Hunter with a Scalpel Episode 3: Benang Jahit, Sidik Jari, dan Luka yang Tak Terlihat

Kali ini saya bagikan recap Hunter with a Scalpel episode 3. Belum baca episode sebelumnya? Yuk simak Recap Hunter with a Scalpel Episode 2 untuk memahami latar belakang kasus berantai ini lebih dalam.

Episode ketiga dari drama kriminal Hunter with a Scalpel menampilkan eskalasi ketegangan yang dramatis, di mana misteri pembunuhan berantai di Yongcheon mulai menyingkap sisi tergelap dari manusia dan kelemahan sistem hukum. Dibuka dengan suasana sunyi namun mencekam, episode ini membawa kita masuk lebih dalam ke benak pelaku—dan luka masa lalu yang perlahan mencuat ke permukaan.

Ritual Berdarah: Mantra Tanpa Nama

Kalimat-kalimat ganjil yang terus diulang sepanjang episode, seperti:

Horizontal dua kali. Tiga kali vertikal. Jangan sampai Ayah marah. Jangan tinggalkan jejak. Bahkan satu sidik jari pun tidak boleh.

…bukan sekadar ocehan. Ia menjadi semacam mantra yang menggambarkan kondisi mental pelaku—ritual psikologis untuk menenangkan trauma, atau mungkin cara untuk mengendalikan rasa bersalah dan kecemasan.

Kalimat itu mengawali berbagai penemuan jenazah yang dimutilasi, seluruhnya dalam keadaan bersih dari jejak forensik. Tak ada sidik jari. Tak ada tanda kekerasan kasat mata. Hanya benang putih dan pola pembungkusan plastik yang teratur—menandakan bahwa si pelaku sangat teliti dan sadar akan setiap detail.

Penyelidikan yang Tersendat: Konflik Internal Tim Forensik

Tim investigasi, yang dipimpin Detektif Jung dan didukung para forensik termasuk Dokter Seo dan almarhum Dokter Oh Min-ho, mulai kesulitan mengungkap pelaku karena minimnya bukti langsung. Bahkan ketika korban berikutnya ditemukan—lagi-lagi tanpa sidik jari—ketegangan bertambah karena pihak internal seperti Dokter Oh justru menjadi korban terbaru.

Penemuan ini mengguncang seluruh tim. Bagaimana bisa seorang dokter forensik menjadi korban, dan kenapa pembunuh bisa seolah-olah selalu selangkah lebih maju dari aparat?

Namun, tidak semua orang sejalan. Konflik antara Dokter Seo dan pimpinan institusinya, bahkan dengan rekan kerja lainnya, menyingkap tekanan emosional di balik tugas profesional. Dokter Cheon ditugaskan mengambil alih tugas-tugas autopsi, sebuah keputusan yang menimbulkan ketegangan baru. Apakah ini upaya menyelamatkan karier, menutupi sesuatu, atau memang bentuk restrukturisasi darurat?

Jejak Terakhir: Benang, Sodium, dan Pancuronium

Saat penyelidikan berlanjut, kejelian tim forensik menghasilkan temuan penting. Plastik pembungkus tubuh korban ternyata mengandung unsur natrium, sementara dari tubuh korban ditemukan jejak Pancuronium—obat pelumpuh otot yang sangat mematikan. Penemuan ini mengindikasikan bahwa pembunuh memiliki pengetahuan farmasi atau kedokteran, dan sengaja menggunakan racun agar korban tak melawan saat dimutilasi.

Tak hanya itu, pola luka yang ditemukan pada tubuh-tubuh korban sangat presisi: lima bagian tubuh dimutilasi secara simetris, sama antara satu kasus dengan kasus lainnya. Keberadaan benang putih dan sapuan yang seragam memperkuat teori bahwa pelaku mungkin terobsesi dengan “kebersihan”, keteraturan, atau bahkan… trauma rumah tangga masa lalu.

CCTV dan Kejaran di Persimpangan T

Salah satu titik balik besar dalam episode ini terjadi saat tim penyidik menemukan rekaman CCTV yang menunjukkan kendaraan besar melintas di lokasi pembuangan tubuh pada pukul 04.26 pagi. Plat nomor mobil berhasil diidentifikasi sebagai 72 BA 7492.

Langsung saja, perintah penyergapan dilakukan.

Adegan pengejaran yang intens terjadi ketika polisi mencoba meringkus tersangka yang mencoba kabur lewat pintu belakang rumahnya. Teriakan, ketukan keras di pintu, dan aksi kejar-kejaran di gang sempit menggambarkan rasa panik pelaku dan tekad polisi untuk menangkapnya hidup-hidup.

Akhirnya, tersangka berhasil ditangkap. Di tengah kekacauan itu, Dokter Choi diminta memeriksa ulang plastik pembungkus tubuh untuk mencari sidik jari tambahan—khususnya pada pita perekat. Upaya ini menjadi bentuk kehati-hatian ekstra agar tidak ada bukti terlewat.

Bukti Sidik Jari dan Luka Psikologis

Setelah penangkapan, hasil pemeriksaan forensik keluar.

Jangan sampai Ayah marah. Jangan tinggalkan sidik jari.

Ternyata, mantra pelaku bukan hanya simbolik—tapi mencerminkan obsesi sebenarnya. Ia memang berusaha menghapus jejak dirinya dari dunia: secara fisik, emosional, dan sosial. Namun, dalam kejatuhannya, jejak kecil tetap tersisa.

Sidik jari pada pita perekat menjadi satu-satunya saksi bisu yang membongkar semuanya.

Keadilan yang Tertunda: Apa Penutup Sebenarnya?

Episode ini ditutup dengan rasa puas bercampur luka. Sang pelaku telah tertangkap, tapi bekas tragedi yang ditinggalkan tak akan mudah hilang.

Bagaimana seseorang bisa sedemikian rapi, dingin, dan brutal?

Apakah dia memang monster… atau hanya korban yang gagal mencari pertolongan?

Hunter with a Scalpel episode 3 tidak sekadar membawa penonton pada misteri kriminal biasa, tapi menyelam ke dalam labirin trauma, ketidakstabilan mental, dan kerumitan birokrasi hukum. Drama ini menyampaikan satu pesan penting: bahwa tak semua luka terlihat, dan tak semua korban ada di dalam kantong jenazah.

4

No Responses

Write a response