Dalam lanskap sinema Indonesia yang semakin berani mengeksplorasi genre horor dan thriller psikologis, A Normal Woman hadir sebagai karya terbaru dari sutradara Lucky Kuswandi, yang sebelumnya dikenal lewat film-film seperti Dear David dan A World Without. Film ini tayang di Netflix dan menampilkan Marissa Anita sebagai Milla, seorang sosialita yang hidupnya mulai terurai akibat penyakit misterius yang mengancam tubuh, pikiran, dan identitasnya.
Sinopsis Singkat
Milla dan suaminya Jonathan (Dion Wiyoko) adalah pasangan glamor yang mempromosikan suplemen bernama Eternity Life. Mereka hidup mewah, namun di balik citra sempurna itu, Milla menyimpan kekosongan masa lalu—ia tak bisa mengingat masa kecilnya. Ketika tubuhnya mulai menunjukkan gejala aneh seperti kulit yang mengelupas, muntah darah dan pecahan kaca, serta penglihatan akan sosok anak perempuan misterius, Milla mulai mempertanyakan kewarasannya.
Di tengah tekanan dari keluarga Jonathan yang menuntut kesempurnaan fisik, serta hubungan yang renggang dengan putrinya Angel (Mima Shafa), Milla terjebak dalam spiral ketakutan dan isolasi. Angel sendiri menjadi korban komentar jahat di media sosial, yang memperburuk rasa tidak amannya. Ketika Milla mulai mengalami ruam gatal yang menyebar cepat dan penglihatan mengerikan, ia justru dianggap berhalusinasi dan mulai dikucilkan.
Tema dan Simbolisme
Film ini mengangkat tema yang sudah sering muncul dalam genre horor: perempuan yang kehilangan kendali atas tubuh dan pikirannya, serta bagaimana masyarakat merespons perubahan tersebut. Dalam A Normal Woman, penyakit misterius yang dialami Milla menjadi metafora atas tekanan sosial terhadap perempuan—terutama yang hidup di bawah sorotan publik.
Simbolisme tubuh yang rusak sebagai bentuk hukuman atas gaya hidup materialistis bukanlah hal baru. Namun, film ini tetap berhasil menyampaikan pesan tersebut dengan cara yang efektif. Ketika Milla mulai menggaruk kulitnya secara obsesif, kita diingatkan pada citra klasik dalam horor psikologis—tubuh sebagai medan perang antara kenyataan dan delusi.
Angel, sang putri, menjadi representasi generasi muda yang terjebak dalam standar kecantikan media sosial. Subplot ini sebenarnya memiliki potensi besar untuk dikembangkan lebih jauh, namun sayangnya ditinggalkan di pertengahan cerita ketika fokus beralih sepenuhnya pada kondisi Milla.
Psikologi dan Gaslighting
Salah satu kekuatan utama film ini adalah penggambaran proses gaslighting yang dialami Milla. Ketika ia mulai menunjukkan gejala-gejala aneh, orang-orang di sekitarnya—termasuk suami dan keluarga besar—justru meragukan kewarasannya. Ia dikunci secara harfiah dan simbolis, dijauhkan dari anaknya, dan dipaksa untuk mempertanyakan realitasnya sendiri.
Gaslighting dalam konteks ini bukan hanya alat naratif, tetapi juga kritik sosial terhadap bagaimana perempuan sering kali tidak dipercaya ketika menyuarakan penderitaan mereka. Milla menjadi korban dari sistem yang menuntut kesempurnaan, namun menolak untuk mengakui keretakan di balik citra tersebut.
Struktur Naratif dan Perubahan Perspektif
Film ini menggunakan struktur naratif yang cukup menarik dengan memperkenalkan karakter Erika (Gisella Anastasia), yang memiliki hubungan pribadi dengan Milla. Kehadiran Erika membuka jalan bagi eksplorasi baru terhadap kondisi Milla dan reaksi keluarganya. Untuk sementara waktu, Erika bahkan mengambil alih peran protagonis, memberikan sudut pandang alternatif yang menyegarkan.
Namun, perubahan perspektif ini tidak bertahan lama. Film akhirnya kembali ke Milla dan menyajikan klimaks yang relatif dapat ditebak, dengan akhir yang ambigu—ciri khas genre thriller psikologis. Meski demikian, keberanian untuk menggeser fokus naratif menunjukkan komitmen film terhadap kompleksitas karakter dan dinamika keluarga.
Gaya Penyutradaraan dan Sinematografi
Lucky Kuswandi menunjukkan kematangan dalam mengarahkan atmosfer misterius dan penuh ketegangan. Penggunaan pencahayaan redup, warna-warna dingin, dan framing yang sempit memperkuat rasa isolasi yang dialami Milla. Adegan-adegan penglihatan dan mimpi buruk ditampilkan dengan intensitas visual yang mengganggu, namun tetap estetis.
Sinematografi dalam film ini tidak berusaha menjadi inovatif, tetapi sangat efektif dalam membangun suasana. Musik latar yang minimalis dan desain suara yang tajam turut memperkuat kesan horor psikologis yang meresap perlahan.
Konteks Sinema Indonesia
Dalam beberapa tahun terakhir, sinema Indonesia menunjukkan keberanian untuk mengeksplorasi genre yang sebelumnya jarang disentuh secara serius. Horor dan thriller psikologis menjadi ladang subur bagi sineas lokal untuk menyampaikan kritik sosial, trauma kolektif, dan dinamika keluarga.
A Normal Woman mengikuti jejak film-film seperti Perempuan Tanah Jahanam dan Pengabdi Setan, yang menggunakan elemen supernatural untuk membongkar realitas sosial. Meski tidak sekompleks karya Joko Anwar, film ini tetap menunjukkan bahwa horor bisa menjadi medium reflektif yang kuat.
Kritik dan Keterbatasan
Meski berhasil dalam banyak aspek, A Normal Woman tidak lepas dari kelemahan. Alur cerita yang terlalu lambat di bagian tengah membuat ketegangan sempat menurun. Beberapa subplot, seperti perjuangan Angel menghadapi body shaming, terasa ditinggalkan terlalu cepat.
Selain itu, akhir cerita yang ambigu mungkin akan terasa kurang memuaskan bagi penonton yang mengharapkan resolusi yang jelas. Namun, bagi penggemar genre ini, ketidakpastian justru menjadi bagian dari daya tariknya.
Kesimpulan: Familiar Tapi Tetap Menggigit
A Normal Woman bukanlah film yang mencoba menapaki wilayah baru. Ia sadar bahwa premisnya sudah sering digunakan, namun tetap berkomitmen untuk menyajikannya dengan kualitas yang solid. Dalam genre thriller psikologis, yang terpenting bukanlah keaslian ide, melainkan eksekusi yang tepat—dan film ini berhasil dalam hal itu.
Dengan penggambaran karakter yang kuat, atmosfer yang mencekam, dan kritik sosial yang relevan, A Normal Woman menjadi contoh bagaimana sinema Indonesia bisa bersaing di panggung global tanpa kehilangan identitas lokalnya. Film ini adalah sajian yang cocok bagi penonton yang menyukai horor dengan lapisan psikologis dan dinamika keluarga yang kompleks.
Topik terkait: #Drama, #film Indonesia, #horor Netflix, #Horror, #kritik sosial, #Lucky Kuswandi, #Thriller, #Thriller Psikologis